The Feminist Theory With Abriyantho Atta Toding
TEORI
FEMINISME (GENDER)
1.
SEJARAH
Feminisme
sebagai filsafat dan gerakan berkaitan dengan Era Pencerahan di Eropa yang
dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Setelah
Revolusi Amerika 1776 dan Revolusi Prancis pada 1792 berkembang pemikiran bahwa
posisi perempuan kurang beruntung daripada laki-laki dalam realitas sosialnya.
Ketika itu, perempuan, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah, tidak
memiliki hak-hak seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, berpolitik, hak atas
milik dan pekerjaan. Oleh karena itulah, kedudukan perempuan tidaklah sama
dengan laki-laki di hadapan hukum. Pada 1785 perkumpulan masyarakat ilmiah
untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan
Belanda. Kata feminisme dicetuskan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis,
Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan yang berpusat di Eropa ini
berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill,
“Perempuan sebagai Subyek” (The Subjection of Women) pada tahun (1869).
Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme Gelombang Pertama. Pada awalnya
gerakan ditujukan untuk mengakhiri masa-masa pemasungan terhadap kebebasan
perempuan. Secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua
bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) dalam bidang sosial,
pekerjaan, pendidikan, dan politik khususnya – terutama dalam masyarakat yang
bersifat patriarki. Dalam masyarakat tradisional yang berorientasi Agraris,
kaum laki-laki cenderung ditempatkan di depan, di luar rumah, sementara kaum
perempuan di dalam rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika
datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad
ke-XVIII yang merambah ke Amerika Serikat dan ke seluruh dunia.
Adanya
fundamentalisme agama yang melakukan opresi terhadap kaum perempuan memperburuk
situasi. Di lingkungan agama Kristen terjadi praktek-praktek dan kotbah-kotbah
yang menunjang hal ini ditilik dari banyaknya gereja menolak adanya pendeta
perempuan, dan beberapa jabatan “tua” hanya dapat dijabat oleh pria. Pergerakan
di Eropa untuk “menaikkan derajat kaum perempuan” disusul oleh Amerika Serikat
saat terjadi revolusi sosial dan politik. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft
membuat karya tulis berjudul “Mempertahankan Hak-hak Wanita” (Vindication of
the Right of Woman) yang berisi prinsip-prinsip feminisme dasar yang digunakan
dikemudian hari.
Pada
tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan,
hak-hak kaum prempuan mulai diperhatikan dengan adanya perbaikan dalam jam
kerja dan gaji perempuan, diberi kesempatan ikut dalam pendidikan, serta hak
pilih. Menjelang abad 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan
perhatian dari para perempuan kulit putih di Eropa. Perempuan di negara-negara
penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai keterikatan
(perempuan) universal (universal sisterhood). Pada tahun 1960 munculnya
negara-negara baru, menjadi awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan
selanjutnya ikut ranah politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan
dalam hak suara parlemen.
Gelombang
kedua ini dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang
Yahudi kelahiran Aljazair yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva
(seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis) bersamaan dengan kelahiran
dekonstruksionis, Derrida. Dalam The Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik
logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin.Banyak
feminis-individualis kulit putih, meskipun tidak semua, mengarahkan obyek
penelitiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga seperti Afrika, Asia dan
Amerika Selatan.
Gelombang
feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan
dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di
tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan
membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di
tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang
perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay
Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih
baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal
Right Act (1964) dimana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam
segala bidang.
Gerakan
feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa
sistem sosial masyarakat modern dimana memiliki struktur yang pincang akibat
budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam
berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti
konkret yang diberikan kaum feminis. Gerakan perempuan atau feminisme berjalan
terus, sekalipun sudah ada perbaikan-perbaikan, kemajuan yang dicapai gerakan
ini terlihat banyak mengalami halangan.
Di
tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan
konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang
sama, dari sinilah mulai muncul kelompok “feminisme radikal” dengan membentuk
Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan “Women´s Lib”.
Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum
laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih
seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di tahun 1968 kelompok ini secara
terbuka memprotes diadakannya “Miss America Pegeant” di Atlantic City yang
mereka anggap sebagai “pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh
perempuan”. Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di
mana-mana di seluruh dunia.
Pada
1975, “Gender, development, dan equality” sudah dicanangkan sejak Konferensi
Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum
feminis sosialis telah membuka wawasan gender untuk dipertimbangkan dalam
pembangunan bangsa. Sejak itu, arus pengutamaan gender atau gender
mainstreaming melanda dunia. Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam
institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat
modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap
sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi
sains.
Tetapi,
kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah
termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam
wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat
patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi
kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan
representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan
relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas
dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif. Berangkat
dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller,
Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya
genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan
bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist
science).
2.
ALIRAN
a)
Feminisme Liberal
Feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminisme liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memiliki kebebasan secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Setiap manusia -demikian menurut mereka- punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Akar ketertindasan dan keterbelakngan pada perempuan ialah karena disebabkan oleh kesalahan perempuan itu sendiri. Perempuan harus mempersiapkan diri agar mereka bisa bersaing di dunia dalam kerangka “persaingan bebas” dan punya kedudukan setara dengan lelaki.
Feminis
Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak
memihak antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori
pluralisme negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum pria,
yang terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka
juga menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan
pengaruh kaum pria tadi. Singkatnya, negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan
yang memeng memiliki kendali atas negara tersebut.
Untuk
kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung berada “didalam” negara
hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat kebijakan. Sehingga dalam
hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik atau bernegara. Pun dalam
perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist Liberal mengenai
“kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri terhadap perkembangan
“pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan kegiatan politik seperti
membuat kebijakan di sebuah negara”. Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf,
sebagai “Feminisme Kekuatan” yang merupakan solusi. Kini perempuan telah
mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan, dan perempuan harus
terus menuntut persamaan haknya serta saatnya kini perempuan bebas berkehendak
tanpa tergantung pada lelaki.
Feminisme
liberal mengusahakan untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan
tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan
sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi
sub-ordinat. Budaya masyarakat Amerika yang materialistis, mengukur segala
sesuatu dari materi, dan individualis sangat mendukung keberhasilan feminisme.
Wanita-wanita tergiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan tidak
tergantung lagi pada pria.
Akar
teori ini bertumpu pada kebebasan dan kesetaraaan rasionalitas. Perempuan
adalah makhluk rasional, kemampuannya sama dengan laki-laki, sehingga harus
diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada
produk kebijakan negara yang bias gender. Oleh karena itu, pada abad 18 sering
muncul tuntutan agar prempuan mendapat pendidikan yang sama, di abad 19 banyak
upaya memperjuangkan kesempatan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan, dan di
abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang
diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi, maupun personal. Dalam
konteks Indonesia, reformasi hukum yang berprerspektif keadilan melalui desakan
30% kuota bagi perempuan dalam parlemen adalah kontribusi dari pengalaman
feminis liberal.
b) Feminisme
Radikal
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan”. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang “radikal”.
Trend ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an di mana aliran ini menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan”. Pada sejarahnya, aliran ini muncul sebagai reaksi atas kultur seksisme atau dominasi sosial berdasar jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, utamanya melawan kekerasan seksual dan industri pornografi. Pemahaman penindasan laki-laki terhadap perempuan adalah satu fakta dalam sistem masyarakat yang sekarang ada. Dan gerakan ini adalah sesuai namanya yang “radikal”.
Feminis
Liberal memilki pandangan mengenai negara sebagai penguasa yang tidak memihak
antara kepentingan kelompok yang berbeda yang berasl dari teori pluralisme
negara. Mereka menyadari bahwa negara itu didominasi oleh kaum Pria, yang
terlefleksikan menjadi kepentingan yang bersifat “maskulin”, tetapi mereka juga
menganggap bahwa negara dapat didominasi kuat oleh kepentiangan dan pengaruh
kaum pria tadi.
Singkatnya,
negara adalah cerminan dari kelompok kepentingan yang memeng memiliki kendali
atas negara tersebut. Untuk kebanyakan kaum Liberal Feminis, perempuan cendrung
berada “didalam” negara hanya sebatas warga negara bukannya sebagai pembuat
kebijakan. Sehingga dalam hal ini ada ketidaksetaraan perempuan dalam politik
atau bernegara. Pun dalam perkembangan berikutnya, pandangan dari kaum Feminist
Liberal mengenai “kesetaraan” setidaknya memiliki pengaruhnya tersendiri
terhadap perkembangan “pengaruh dan kesetaraan perempuan untuk melakukan
kegiatan politik seperti membuat kebijakan di sebuah negara”.
Aliran
ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat
sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh
kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mempermasalahkan antara
lain tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme),
seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.
“The personal is political” menjadi gagasan anyar yang mampu menjangkau
permasalahan prempuan sampai ranah privat, masalah yang dianggap paling tabu
untuk diangkat ke permukaan. Informasi atau pandangan buruk (black propaganda)
banyak ditujukan kepada feminis radikal. Padahal, karena pengalamannya membongkar
persoalan-persoalan privat inilah Indonesia saat ini memiliki Undang Undang RI
no. 23 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT).
c)
Feminisme Post Modern
Ide Posmo – menurut anggapan mereka – ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
Ide Posmo – menurut anggapan mereka – ialah ide yang anti absolut dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilahan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya pada penguniversalan pengetahuan ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
d)
Feminisme Anarkis
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki-dominasi lelaki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan.
e)
Feminisme Marxis
Aliran ini memandang masalah perempuan dalam
kerangka kritik kapitalisme. Asumsinya sumber penindasan perempuan berasal dari
eksploitasi kelas dan cara produksi. Teori Friedrich Engels dikembangkan
menjadi landasan aliran ini—status perempuan jatuh karena adanya konsep
kekayaaan pribadi (private property). Kegiatan produksi yang semula bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan sendri berubah menjadi keperluan pertukaran
(exchange).
Laki-laki
mengontrol produksi untuk exchange dan sebagai konsekuensinya mereka
mendominasi hubungan sosial. Sedangkan perempuan direduksi menjadi bagian dari
properti. Sistem produksi yang berorientasi pada keuntungan mengakibatkan
terbentuknya kelas dalam masyarakat—borjuis dan proletar. Jika kapitalisme
tumbang maka struktur masyarakat dapat diperbaiki dan penindasan terhadap
perempuan dihapus.
Kaum
Feminis Marxis, menganggap bahwa negara bersifat kapitalis yakni menganggap
bahwa negara bukan hanya sekadar institusi tetapi juga perwujudan dari
interaksi atau hubungan sosial. Kaum Marxis berpendapat bahwa negara memiliki
kemampuan untuk memelihara kesejahteraan, namun disisi lain, negara bersifat
kapitalisme yang menggunakan sistem perbudakan kaum wanita sebagai pekerja.
f) Feminisme Sosialis
Sebuah faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Sebuah faham yang berpendapat “Tak Ada Sosialisme tanpa Pembebasan Perempuan. Tak Ada Pembebasan Perempuan tanpa Sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang untuk menghapuskan sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilikan pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminisme sosialis muncul sebagai kritik
terhadap feminisme Marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul
sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh.
Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan.
Feminisme sosialis menggunakan analisis kelas dan gender untuk memahami
penindasan perempuan. Ia sepaham dengan feminisme marxis bahwa kapitalisme
merupakan sumber penindasan perempuan. Akan tetapi, aliran feminis sosialis ini
juga setuju dengan feminisme radikal yang menganggap patriarkilah sumber
penindasan itu. Kapitalisme dan patriarki adalah dua kekuatan yang saling
mendukung. Seperti dicontohkan oleh Nancy Fraser di Amerika Serikat keluarga
inti dikepalai oleh laki-laki dan ekonomi resmi dikepalai oleh negara karena
peran warga negara dan pekerja adalah peran maskulin, sedangkan peran sebagai
konsumen dan pengasuh anak adalah peran feminin. Agenda perjuagan untuk memeranginya
adalah menghapuskan kapitalisme dan sistem patriarki. Dalam konteks Indonesia,
analisis ini bermanfaat untuk melihat problem-problem kemiskinan yang menjadi
beban perempuan.
g) Feminisme Post Colonial
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni atau bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
Dasar pandangan ini berakar di penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di negara dunia ketiga (koloni atau bekas koloni) berbeda dengan prempuan berlatar belakang dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami pendindasan berbasis gender, mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonialisme menjadi fokus utama feminisme poskolonial yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat. Beverley Lindsay dalam bukunya Comparative Perspectives on Third World Women: The Impact of Race, Sex, and Class menyatakan, “hubungan ketergantungan yang didasarkan atas ras, jenis kelamin, dan kelas sedang dikekalkan oleh institusi-institusi ekonomi, sosial, dan pendidikan.”
h) Feminisme
Nordic
Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal. Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara.
Kaum Feminis Nordic dalam menganalisis sebuah negara sangat berbeda dengan pandangan Feminis Marxis maupun Radikal. Nordic yang lebih menganalisis Feminisme bernegara atau politik dari praktek-praktek yeng bersifat mikro. Kaum ini menganggap bahwa kaum perempuan “harus berteman dengan negara” karena kekuatan atau hak politik dan sosial perempuan terjadi melalui negara yang didukung oleh kebijakan sosial negara.
3.
TOKOH DALAM FEMINISME (GENDER)
a.
Foucault
Meskipun ia adalah tokoh yang terkenal
dalam feminism, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal
yang diadopsi oleh feminism dari Fault adalah bahwa ia menjadikan ilmu
pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan
kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu
pengetahuan yang ditaklukan. Dan hal tersebut mendukung bagi perkembangan
feminism.
b. Naffine
(1997:69)
Kita dipaksa “meng-iya-kan” sesuatu atas adanya kuasa
atau power Kuasa bergerak dalam relasi-relasi dan efek kuasa didasarkan bukan
oleh orang yang dipaksa meng “iya”kan keinginan orang lain, tapi dirasakan
melalui ditentukannya pikiran dan tingkah laku. Dan hal ini mengarah bahwa
individu merupakan efek dari kuasa.
c.
Derrida (Derridean)
Mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa
(semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan
cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak
hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur
pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan
pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya
“dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya
bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi
melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.
4.
GENDER MENURUT ISLAM DALAM PERSPEKTIF KLASIK DAN MODERN
Islam
adalah sistem kehidupan yang mengantarkan manusia untuk memahami realitas
kehidupan. Islam juga merupakan tatanan global yang diturunkan Allah sebagai
Rahmatan Lil-’alamin. Sehingga – sebuah konsekuensi logis – bila penciptaan
Allah atas makhluk-Nya – laki-laki dan perempuan – memiliki missi sebagai
khalifatullah fil ardh, yang memiliki kewajiban untuk menyelamatkan dan
memakmurkan alam, sampai pada suatu kesadaran akan tujuan menyelamatkan
peradaban kemanusiaan. Dengan demikian, wanita dalam Islam memiliki peran yang
konprehensif dan kesetaraan harkat sebagai hamba Allah serta mengemban amanah
yang sama dengan laki-laki.
Berangkat
dari posisi di atas, muslimah memiliki peran yang sangat strategis dalam
mendidik ummat, memperbaiki masyarakat dan membangun peradaban, sebagaimana
yang telah dilakukan oleh shahabiyah dalam mengantarkan masyarakat yang hidup
di zamannya pada satu keunggulan peradaban. Mereka berperan dalam masyarakatnya
dengan azzam yang tinggi untuk mengoptimalkan seluruh potensi yang ada pada
diri mereka, sehingga kita tidak menemukan satu sisipun dari seluruh aspek
kehidupan mereka terabaikan. Mereka berperan dalam setiap waktu, ruang dan
tataran kehidupan mereka. Kesadaran para shahabiyat untuk berperan aktif dalam
dinamika kehidupan masyarakat terbangun dari pemahaman mereka tentang Syumuliyyatul
Islam, sebagai buah dari proses tarbiyah bersama Rasulullah SAW. Islam yang
mereka pahami dalam dimensinya yang utuh sebagai way of life, membangkitkan
kesadaran akan amanah untuk menegakkan risalah itu sebagai sokoguru perdaban
dunia.
Dalam
perjalanannya, terjadi pergeseran pemahaman Islam para muslimah yang berdampak
pada apresiasi mereka terhadap terhadap nilai-nilai Islam – khususnya terkait
masalah kedudukan dan peran wanita – sedemikian hingga mereka meragukan
keabsahan normatif nilai-nilai tersebut. Hal muncul disebabkan ‘jauhnya’ ummat
ini secara umum dari Al Qur’an dan Sunnah.
Disamping
itu, di sisi lain pergerakan feminis dengan konsep gendernya menawarkan
berbagai ‘prospek’ – lewat manuvernya secara teoritis maupun praktis – tanpa
ummat ini memiliki kemampuan yang memadai untuk mengantisipasi sehingga
sepintas mereka tampil menjadi problem solver berbagai permasalahan wanita yang
berkembang. Pada gilirannya konsep gender – kemudian cenderung diterima
bulat-bulat oleh kalangan muslimah tanpa ada penelaahan kritis tentang hakekat
dan implikasinya.
a)
Paradigma Islam dan Feminisme
Apakah Islam mengenal istilah gender – baik dalam perspektif klasik dan modern? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Untuk tidak memunculkan kesalahan dan kerancuan dalam paradigma berpikir, agaknya perlu dijelaskan masalah ini – dengan memaparkan metodologi Islam dan feminisme – agar interpretasi kita para muslimah dalam memahami wacana tentang peran perempuan tetap berada dalam koridor konsepsi Islam yang utuh.
Apakah Islam mengenal istilah gender – baik dalam perspektif klasik dan modern? Ini adalah pertanyaan yang sangat mendasar. Untuk tidak memunculkan kesalahan dan kerancuan dalam paradigma berpikir, agaknya perlu dijelaskan masalah ini – dengan memaparkan metodologi Islam dan feminisme – agar interpretasi kita para muslimah dalam memahami wacana tentang peran perempuan tetap berada dalam koridor konsepsi Islam yang utuh.
b)
Metodologi Feminisme (Gender)
Kelemahan paling mendasar dari teori feminisme adalah kecenderungan artifisialnya pada filsafat modern. Pemikiran modern memiliki logika tersendiri dalam memandang realitas. Filsafat modern membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek, dimana rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas, dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (obyek) dan hubungan diantara keduanya adalah hubungan subyek–obyek (yang satu mensubordinasi yang lain). Dalam pandangan feminisme modern, deskripsi atas realitas seksual hanyalah patriarkal atau matriarkal. Kelemahan dari dikotomis ini menjadi mendasar karena dalam teori feminisme modern, realitas menjadi tersimplikasi ke dalam sistem patriarki. Hal ini kemudian didekontsruksi oleh era post–modernisme dengan post–strukturalisme.
Kelemahan paling mendasar dari teori feminisme adalah kecenderungan artifisialnya pada filsafat modern. Pemikiran modern memiliki logika tersendiri dalam memandang realitas. Filsafat modern membagi realitas dalam posisi dikotomis subyek–obyek, dimana rasionalisme dan empirisme merajai pandangan dikotomis atas realitas, dimana laki-laki (subyek) dan perempuan (obyek) dan hubungan diantara keduanya adalah hubungan subyek–obyek (yang satu mensubordinasi yang lain). Dalam pandangan feminisme modern, deskripsi atas realitas seksual hanyalah patriarkal atau matriarkal. Kelemahan dari dikotomis ini menjadi mendasar karena dalam teori feminisme modern, realitas menjadi tersimplikasi ke dalam sistem patriarki. Hal ini kemudian didekontsruksi oleh era post–modernisme dengan post–strukturalisme.
Post–strukturalisme
membongkar dikotomi subyek–obyek atau ketunggalan kebenaran subyek tertentu.
Sehingga realitas seksualpun tidak lagi dipandang hanya dalam dikotomi yang
demikian, tetapi dipandang sebagai bentuk pluralitas dengan kesejajaran
kedudukan dan masing- masing memiliki nilai kebenarannya sendiri. Kelemahan
lain adalah alat filsafat modern itu sendiri, yaitu rasionalisme dan
imperialisme. Dengan rasionalismenya, modernisme mengandalkan bangunan utama
subyektif manusia adalah rasionya, dan mambalut kekuatan subyektif dalam
keutamaan rasionya. Sedangkan empirisme mengutamakan pengalaman inderawi dan
materi sebagai ukuran kebenaran. Feminisme tidak terlepas dari kelemahan ini
pula sehingga baik dalam teori maupun gerakan feminisme mau tidak mau
menempatkan diri dalam kategorisasi alat modernisme yaitu rasionalisme dan
empirisme.
c).
Metodologi Islam
Jika feminisme mendasarkan
teorinya pada pandangan atas realitas yang didikotomi atas realitas seksual
(patriarkal), sebagaimana liberalisme atas realitas manusia (individu) dan
sosialis atas realitas manusia (masyarakat), maka didalam Islam pandangan atas
realitas bukan semata-mata tidak ada dikotomi (sebagaimana post–
strukturalisme), sehingga setiap bagian tertentu memiliki nilai kebenaran
sendiri. Di dalam Islam, nilai kebenaran dalam pandangan post–strukturalisme
adalah nilai kebenaran relatif, sementara tetap ada yang mutlak. Sehingga
andaipun ada dikotomi atas subyek–obyek, maka subyek itu adalah Sang Pencipta
yang memiliki nilai kebenaran mutlak, sedangkan obyeknya adalah makhluk
seluruhnya yang hanya dapat mewartakan sebagian dari kebenaran mutlak yang
dimiliki-Nya.
Dengan demikian dalam Islam, hubungan
manusia dengan manusia lain maupun hubungan manusia dengan makhluk lain adalah
hubungan antar obyek. Jika ada kelebihan manusia dari makhluk lainnya maka ini
adalah kelebihan yang potensial saja sifatnya untuk dipersiapkan bagi tugas dan
fungsi kemanusiaan sebagai hamba (sama seperti jin, QS 51:56) dan khalifatullah
(khusus manusia QS 2:30). Kelebihan yang disyaratkan sebagai kelebihan
pengetahuan (konseptual) menempatkan manusia untuk memiliki kemampuan yang
lebih tinggi dari obyek makhluk lain dihadapan Allah. Akan tetapi kelebihan
potensial ini bisa saja menjadi tidak berarti ketika tidak digunakan sesuai
fungsinya atau bahkan menempatkan manusia lebih rendah dari makhluk yang lain
(QS 7:179). Realitas kemanusiaan juga demikian, dia tidak didasarkan oleh
kelebihan satu obyek atas obyek yang lain, berupa jenis kelamin tertentu atau
bangsa tertentu. Perubahan kedudukan hanya dimungkinkaan oleh kualifikasi
tertentu yang disebut dengan taqwa (QS 49:13). Dengan demikian, dikotomi
subyek–obyek di dalam Islam tidak sesederhana pandangaan feminisme modern,
yaitu dalam sistem patriarkal maupun matriarkal. Kualifikasi yang terikat pada
subyek tertinggi yaitu Allah adalah kualifikasi yang melintasi batas jenis
kelamin, kelas sosial ekonomi, bangsa dan sebagainya. Dengan demikian
kategori-kategori kelebihan subyek atau kelebihbenaran dalam Islam tidak
berdasarkan rasionalisme dan empirisme, namun kategorisasi yang melibatkan
dimensi lain yaitu wahyu.
Secara normatif, pemihakan wahyu atas
kesetaraan kemanusiaan laki- laki dan perempuan dinyatakan di dalam Al Qur’an
surat 9:71. Kelebihan tertentu laki-laki atas perempuan dieksplisitkan Al
Qur’an dalam kerangka yang konteksual (QS4:34). Sehingga tidak kemudian
menjadikan yang satu adalah subordinat yang lain. Dalam kerangka yang normatif
inilah nilai ideal universal wahyu relevan dalam setiap ruang dan waktu.
Sedangkan dalam kerangka konstektual, wahyu mesti dipahami lengkap dengan latar
belakang konteksnya (asbabun nuzul-nya) yang oleh Ali Ashgar Engineer disebut
terformulasi dalam bahasa hukum (syari’at). Syari’at adalah suatu wujud formal
wahyu dalam kehidupan manusia yang menjadi ruh kehidupan masyarakat. Antara
wahyu (normatif) dengan masyarakat (konteks) selalu ada hubungan dinamis
sebagaimana Al Qur’an itu sendiri turun dengan tidak mengabaikan realitas masyarakat,
tetapi dengan cara berangsur dan bertahap. Dengan proses yang demikian
idealitas Islam adalah idealitas yang realistis bukan elitis atau utopis karena
jauhnya dari realitas konteks. Dari kedua metodologi di atas, jelas bagi kita
bahwa feminisme dengan konsep gendernya tidak ada dalam Islam. Namun kita
dituntut untuk mampu menjelaskan peran muslimah itu sendiri dengan paradigma
Islam (syumul dan komprehensif). Inilah tugas kita sebagai muslimah.
5.
GENDER MENURUT HUBUNGAN INTERNASIONAL
Teori
Feminisme dalam hubungan internasional dimulai dari adanya pemikiran bahwa
hubungan internasional lebih banyak berbicara tentang ‘high politics’ (keamanan
nasional, national interest) dan dalam konteks teknis (misalnya: keamanan
berbicara mengenai senjata dan lain-lain. Hubungan Internasional juga hanya
berbicara tentang perang (game theory, persenjataan). Selain itu, Ilmu Hubungan
Internasional sangat male dominated. Akibatnya, konsep, concern, kepentingan
yang ada hanya merefleksikan kepentingan pria. Feminisme mencoba menggugat
bahwa sexual violance berdampingan dengan perang.
Pergerakan
Feminisme mulai terlihat pergerakan paling awal yang ditemui sejak abad ke-15
dan terlihat ketika Christine de Pizan menulis ketidakadilan yang dialami
perempuan. Pada tahun 1800-an, terdapat pergerakan yang cukup signifikan dimana
Susan dan Elizabeth telah memperjuangkan hak-hak politik, diantaranya hak untuk
memilih. Pada tahun 1759-1797, feminis mulai menggunakan kata-kata “hak”. Saat
itu, Mary Wollstonecraft, feminis pertama yang mengatakan adanya pembodohan
terhadap perempuan yang disebabkan tradisi masyarakat yang menjadikan perempuan
sebagai makhluk yang tersubordinasi. Tahun 1970-1980an: Wacana feminisme
bermunculan di Amerika Latin, Asia, dan di negara-negara Dunia ketiga pada
umumnya. Tahun 1960-1970an, feminis mulai membawa perubahan sosial yang luar
biasa di dunia Barat dimana lahirnya undang-undang yang menguntungkan perempuan
dan konsep patriarki yang mulai mengemuka. Pada abad ke-20 (1949): Lahir karya
Simone de Beauvoir “Le Deuxieme Sexe”, dan akhirnya ditemukan istilah
kesetaraan.
6.
PENDEKATAN FEMINISME DALAM STUDI GENDER
Kritik
para feminist terhadap sexism di dalam wacana dan praktek ilmu sosial
menghasilkan beraneka macam formulasi. Tetapi secara umum terdapat tiga hal
penting (Stanley dan Wise 1983:17, 1990:21). Pertama, pendekatan feminis di
dalam riset ilmu sosial memfokuskan pada kelompok perempuan, riset harus
dilakukan oleh peneliti perempuan yang feminis untuk para perempuan. Kedua,
peneliti feminis melihat bahwa ada perbedaan pandangan antara metode-metode
kiantitatif yang cenderung bersifat maskulin dan metode-metode kwalitatif yang
dipakai feminis. Yang ketiga adalah bahwa penelitian feminis memang memiliki
tujuan politis yakni untuk mengubah kehidupan kaum perempuan.
Nampaknya
pendapat Stanley dan Wise di atas memang cukup meyakinkan karena kenyataannya
memang banyak sekali peneliti feminis cenderung memilih kelompok perempuan
sebagai obyek penelitian mereka. Kecenderungan ini bisa dipahami karena para
peneliti feminis menganggap bahwa riset sosial dan budaya yang selama ini
dilakukan oleh para peneliti pria cenderung memarginalkan peran perempuan.
Sehingga mereka perlu melakukan suatu penelitian yang akan memperlihatkan
kepada dunia tentang keberadaan perempuan.
Namun,
pendekatan feminis yang menekankan pada penelitian tentang perempuan, untuk
perempuan dan oleh perempuan (on, for and by women) tidak cukup memuaskan untuk
mengangkat pentingnya isu perempuan di ranah penelitian ilmu sosial. Masih terlalu
sedikit penelitian yang dilakukan perempuan tentang perempuan yang memberikan
hasil positif bagi perempuan. Kebanyakan justru memberikan hasil yang sangat
negatif bagi perempuan.
Di
bidang bahasa, misalnya, banyak orang, termasuk para ahli linguistik feminis,
menyudutkan perempuan karena tergesa membuat kesimpulan bahwa praktek berbahasa
perempuan tidak standard dan buruk. Seperti kita lihat dari hasil penelitian
Lakoff (1975) dan Kramer (1977). Kedua ahli linguistik ini menyatakan bahwa
praktek berbahasa laki-laki lebih efisien, otoritatif, serius, efektip, dan
berwibawa. Ciri-ciri ini menunjukkan sisi positif dari bahasa laki-laki.
Sedangkan praktek berbahasa perempuan dianggap sepele, ragu-ragu, hiper-sopan,
atau euphemistik. Ternyata dalam proses penelitiannya kedua ahli linguistik ini
telah menggunakan bahasa laki-laki sebagai norma atau standard untuk menilai
praktek berbahasa perempuan. Karena bahasa laki-laki telah dijadikan ukuran
yang baku, maka dengan sendirinya praktek berbahasa kelompok perempuan akan
nampak seperti “deviasi” dari bahasa standard. Penelitian seperti dilakukan
oleh Lakoff dan Kramer di atas dikiritik keras oleh Spender (1980). Spender
menganggap bahwa penelitian semacam itu secara metodologis bias gender dan
memarginalkan posisi perempuan.
Dari
contoh penelitian kedua ahli linguistik di atas, kita bisa membuat kesimpulan
bahwa penelitian tentang perempuan oleh peneliti perempuan tidak menjamin akan
memberikan banyak manfaat bagi perempuan. Tetapi di sisi lain, bila penelitian yang
dilakukan oleh perempuan memberi tekanan pada posisi dan persepsi perempuan
mungkin akan bisa membuka tabir tentang aktivitas atau kehidupan perempuan yang
selama ini terbungkam.
Ada
satu contoh berbeda yakni penelitian feminis yang dilakukan oleh Dale Spender
(1986) di bidang sastra. Spender melakukan penelitian tentang asal mula tradisi
penulisan novel Inggris. Ia, seperti halnya kritikus sastra lainnya, berasumsi
bahwa perintis novel Inggris adalah para pengarang laki-laki. Pada awal
risetnya, Dale Spender dipengaruhi oleh anggapan bahwa sebelum Jane Austen
tidak pernah ada novelis perempuan. Perlu diketahui bahwa sejarah tentang
penulis novel Inggris banyak dipengaruhi oleh tulisan Ian Watt (1957), The Rise
of the Novel. Watt hanya memfokuskan pengamatannya pada para penulis pria saja
sehingga tradisi penulisan novel seolah-olah hanya dirintis oleh para penulis
pria.
Tidak
mengherankan bahwa Dale Spenderpun juga memfokuskan penelitiannya kepada
novel-novel yang ditulis perempuan sejak tahun 1800an, yakni ketika novel Sense
and Sensibility (1811) ditulis. Namun ketika ia tengah menjalani proses
penelitian, Spender berubah pikiran karena ia telah menemukan 100 novelis
perempuan yang menulis karya jauh sebelum tahun 1800, tepatnya tahun 1600an.
Karya-karya mereka tersisih tak dikenal. Penemuannya ini memberikan petunjuk
bahwa kesuksesan Jane Austen tidak bisa dilepaskan dari sebuah tradisi
penulisan novel yang telah dirintis oleh para penulis perempuan jauh sebelum
Jane Austen sendiri menulis karyanya.
Anehnya,
keseratus penulis perempuan tersebut tidak dikanonisasi. Para penulis sejarah
sastra ternyata telah menyingkirkan karya-karya para pelopor novel perempuan
dalam buku sejarah sastra mereka. Tidak diketahui secara pasti alasan mereka
mengapa jumlah novel yang sebegitu banyak disingkirkan. Padahal, berdasarkan
penelusuran sejarah yang dilakukan Spender (1986) banyak dari karya-karya
tersebut yang mendapatkan respon positif baik dari para pembacanya maupun dari
kalangan intelektual.
Penelitian
seperti yang dilakukan oleh Spender ini bagaikan membuka tabir dari sebuah
realita, atau membongkar harta karun milik perempuan yang terkubut. Penelitian
seperti ini sungguh sangat penting untuk melengkapi gap yang telah diciptakan
oleh para peneliti terdahulu yang sangat dipengaruhi oleh persepsi yang bias
gender. Ada beberapa sebab mengapa peneliti perempuan gagal menemukan sesuatu
yang bermanfaat bagi perempuan.
Pertama,
karena mereka masih memakai ukuran dan norma penelitian tradisional yang
cenderung “sexis” atau bias gender. Kenyataan ini nampaknya cukup rasional
karena guru dan supervisor mereka adalah para peneliti atau pakar laki-laki.
Kedua, mereka belum mampu secara konsisten menggunakan perspektif perempuan
dalam penelitiannya. Ketiga, dan yang paling penting, adalah bahwa mereka belum
menyadari tentang perlunya seorang peneliti untuk mengambil “standpoint”, yang
oleh Dorothy Smith disebut “the standpoint of women” (standpoin perempuan).
(Smith 1987: 78-88).
Pendapat
Dorothy Smith tentang standpoint perempuan ini didukung oleh banyak kalangan
feminis. Mereka menganggap bahwa feminisme tidak hanya sekedar sebuah
perspektif (cara memandang sesuatu), atau bahkan bukan sekedar sebuah
epistemologi (cara mengetahui sesuatu), melainkan juga merupakan sebuah ontologi,
yakni keberadaan seseorang di dunia ini. (Stanley 1990: 14; Weedon 1987).
“The
standpoint of women” diharapkan bisa sangat bermanfaat bagi para peneliti ilmu
sosial agar mereka tidak terjebak pada kesimpulan-kesimpulan yang cenderung
memarginalkan perempuan.
Standpoint
perempuan tidak sekedar berkaitan dengan jenis kelamin peneliti (perempuan)
tetapi lebih pada kemampuan peneliti untuk menyadari, memahami dan merasakan
posisi perempuan di dalam wacana kehidupan sehari-hari.
Untuk
menjelaskan tentang “The Standpoint Of Women”, Smith mengambil analogi dari
konsep Hegel di dalam The Phenomenology of Mind, tentang hubungan antara
kesadaran majikan dan tenaga kerja buruhnya. Seperti dijelaskan oleh Smith
(1987:79), Hegel menganalisa bahwa di dalam hubungan antara majikan dan buruh,
seorang majikan yang menginginkan atau membutuhkan sesuatu tidak perlu membuat
barang itu sendiri. Obyek yang dikehendaki telah disediakan oleh pembantu atau
buruh yang digajinya. Dengan menyediakan apa yang dibutuhkan oleh majikannya,
buruh selalu berusaha menyesuaikan diri dengan kebutuhan majikannya.
Jadi,
di dalam hubungan antara buruh dan majikan, buruh tersebut bukan merupakan
subyek yang memiliki otonomi. Di dalam kesadarannya, buruh hanya mengetahui
keberadaan majikan, pelayanan yang ia berikan, serta kaitan antara majikan dan
obyek yang dikehendaki majikannya. Sebaliknya, di dalam kesadaran majikan
terdapat kesadaran tentang dirinya sebagai subyek, kemudian obyek yang
diinginkannya, dan buruh yang berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi obyek
yang dibutuhkannya tersebut. Bilamana konsep Hegel tentang buruh dan majikan
dipakai untuk menginterpretasi pandangan Marx tentang perbedaan antara basis
ideologi kelas penguasa (the ruling class) dan basis kesadaran politis kelas buruh,
makan akan diketemukan kemiripan antara kesadaran politis buruh dengan
“standpoint of women”. Lebih jelasnya, Smith (1987: 79) menguraikan sebagai
berikut: Bentuk-bentuk kesadaran sosial kita telah diciptakan oleh laki-laki
yang menduduki posisi di dalam organisasi extralocal kekuasaan. Diskursus, pola
pikir, teori, dan sosiologi telah menganggap bahwa kondisi menguasai itu tidak
ada. Jadi praktek riil yang membuat terjadinya tindakan menguasai itu tidak
nampak. Perempuan berada di luar hubungan extralocal kekuasaan itu. Mereka,
pada umumnya, berada dan berfungsi di dalam proses kerja yang menopang
kekuasaan dan memiliki peran penting bagi kelangsungan kekuasaan itu.
Dari
sudut pandang yang berkuasa (sudut pandang patriarki), kegiatan riil
sehari-hari, dan organisasi kerja keseharian yang menopang keberadaan kelas
penguasa (patriarki) dan kekuasaannya tidak terlihat. Jadi dari sudut pandang
patriarki, aktivitas sehari-hari perempuan yang menopang keberadaan seluruh
sistem patriarki dianggap tidak perlu, tidak ada artinya, bahkan tidak ada.
Padahal, posisi yang menyangkut hal-hal rutin seperti pekerjaan rumah tangga,
melahirkan dan mengasuh anak merupakan posisi yang diduduki perempuan. Posisi
ini menopang dan memungkinkan laki-laki menguasai dunia konseptual yang
abstrak. Oleh karena itu, berdasarkan logika patriarki atau ilmu sosial
tradisional, perempuan yang memasuki dunia konseptual seperti misalnya menjadi
peneliti atau intelektual ilmu sosial harus melepaskan diri dari konteks yang
berkaitan dengan semua hal yang dilakukannya sehari-hari.
Yang
diusulkan oleh Smith (1987:84) adalah agar peneliti perempuan memiliki
standpoint yang spesifik perempuan. Artinya, ia tidak boleh melepaskan diri
dari locus kehidupannya sehari-hari. Sebagai peneliti feminis, ia harus menjadi
subyek yang memiliki kesadaran ganda (bercabang). Di satu sisi ia memiliki
kesadaran tentang dunia yang dialaminya (di dalam tubuhnya), dan di sisi lain
ia juga memiliki kesadaran tentang dnia abstraksi yang berada di luar
eksistensi dirinya. Konsep Dorothy Smith tentang standpoint perempuan yang
cukup kompleks ini dijelaskan secara lebih sederhana oleh Stanley (1990: 34)
sebagai berikut:
Peneliti
feminis harus selalu melihat perempuan sebagai pihak yang secara aktip ikut
membentuk sekaligus menginterpretasi proses dan hubungan sosial yang ada di
dalam realitas keseharian mereka. Dengan kata lain, untuk memiliki standpoint
yang sama dengan obyek yang diteliti, seorang peneliti feminis harus berada
pada posisi yang sama kritisnya dengan mereka yang kehidupan sehari-harinya
sedang diamat. Namun, standpoint perempuan ini jangan disalahpahami sebagai
perspektif atau pandangan hidup. Ia juga tidak dimaksudkan untuk
menggeneralisir suatu pengalaman tertentu. Standpoint perempuan adalah suatu
metode yang ketika dipakai untuk mencari tahu tentang sesuatu hal akan
memberikan ruang kepada subyek, yang selama ini ditiadakan, beserta
pengalaman-pengalaman riilnya yang dianggap tidak pernah ada. Dengan metode ini
subyek dan pengalaman-pengalaman itu diungkapkan dengan menghadirkan pelaku
perempuan yang berbicara sendiri tentang pengalaman riil keseharian mereka.
Konsep
Dorothy Smith tentang standpoint perempuan ini, walaupun cukup kompleks,
mengawali diskusi yang hangat dan menarik untuk memulai pengembangan suatu
epistemologi feminis yang unik (distinctive). Ini merupakan langkah maju untuk
menindaklanjuti teori feminis yang semula hanya sekedar kritik terhadap ilmu
sosial menjadi sebuah pemikiran tentang epistemologi feminis, yaitu sebuah
teori tentang pengetahuan yang berbicara mengenai “siapa yang bisa menjadi
peneliti”, “apa yang bisa diteliti”, “apa saja yang bisa membentuk
pengetahuan”, dan “bagaimana seharusnya hubungan antara knowing (cara
mengetahui) dan keberadaaan seseorang (Stanley 1990:26).
" Semoga Tulisan Ini
Bermanfaat !"
"Salam Hangat Abriyantho Atta Toding"
Komentar
Posting Komentar